Minggu, 02 November 2008

MEMBERIKAN TANGGAPAN

LEMBAR KEGIATAN PEMBELAJARAN XII

Kompetensi dasar: Siswa mampu memberi tanggapan secara cerdas, cermat, dan tepat sesuai dengan kompetensi dan kewenangannya.
Indikator:
Siswa mampu menganalisis kerangka berpikir suatu pendapat.
Siswa menemukan dasar berpikir suatu pendapat.
Siswa mampu memenukan kebenaran suatu pendapat.
Siswa menemukan kelemahan suatu pendapat.
Siswa memberi tanggapan secara tepat dan proporsional sesuai dengan konteks masalahnya.

Bacalah dengan cermat dan teliti wavana berikut ! Analisislah kerangka berpikir pendapat tersebut kemudian telitilah kebenaran dan kelemahan gagasannya! Berdasarkan hal tersebut berilah tanggapan secara tepat dan proporsional sehingga berguna demi pengembangan gagasan secara luas berikutnya!

1. Mensyukuri Anggaran Pendidikan
Oleh redaksi
Kamis, 21-Agustus-2008, 08:59:01

Dalam pidato kenegaraan Rapat Pleno DPR Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjelaskan bahwa dalam RAPBN 2009 alokasi untuk anggaran pendidikan dinaikkan menjadi 20 persen. Ini tentu kabar menggembirakan khususnya bagi kalangan pendidik. Walaupun di tengah kondisi keuangan yang berat, namun pemerintah SBY rupanya tidak ingin APBN 2009 nanti dikatakan inkonstitusional, karena tidak mengalokasikan anggaran pendidikan sesuai dengan amanat konstitusi.

Anggaran bidang pendidikan itu terdiri atas anggaran untuk Departemen Pendidikan Nasional Rp 51,9 triliun, anggaran pendidikan Rp 69 triliun, tambahan anggaran pendidikan Rp 46,1 triliun serta anggaran yang ada dalam Dana Alokasi Umum untuk pemerintah provinsi sekitar Rp 20 triliun. Kenaikan anggaran bidang pendidikan di antaranya akan digunakan untuk menaikkan tunjangan fungsional guru menjadi minimal Rp 2 juta per bulan. Sekolah-sekolah kejuruan mendapat perhatian pemerintah. Untuk menyiapkan tenaga-tenaga kerja terampil guna semakin menunjang pertumbuhan industri, pemerintah juga akan meningkatkan mutu sekolah-sekolah menengah kejuruan (SMK). Kesejahteraan para peneliti juga akan ditingkatkan. Dan akan lebih banyak lagi beasiswa bagi pelajar dan mahasiswa berprestasi.
Tidak hanya kalangan guru dan peneliti yang kesejahteraannya akan ditingkatkan. Pemerintah pun merencanakan akan menaikkan gaji dan pensiunan PNS, TNI/Polri rata-rata 15 persen. Dengan kenaikan ini, maka PNS golongan terendah akan mendapatkan take home pay minimal Rp 1,7 juta per bulan. Bahkan pemerintah juga berencana akan memberikan gaji ke-13. Walaupun agak terlambat, kita patut bersyukur, akhirnya pemerintah mau juga mendengarkan perjuangan kalangan pendidik.
Selama ini, pemerintah memang agak pelit untuk mengalokasikan anggarannya untuk kepentingan pendidikan. Bahkan, dalam APBN sebelum 2008 pun, anggaran untuk menyiapkan kualitas sumber daya manusia ini masih di bawah 15 persen. Kita juga pantas mengucapkan selamat kepada Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) dan beberapa individu guru yang telah berhasil menekan pemerintah sehingga mau mengalokasikan anggarannya sebesar 20 persen untuk pendidikan setelah gugatan PGRI ke Mahkamah Konstitusi dikabulkan dan MK menyatakan bahwa APBN-P 2008 bertentangan dengan UUD 1945, karena rasio anggaran pendidikan hanya 15,6 persen. Kita berharap, dengan anggaran Rp 224 triliun, dunia pendidikan Indonesia akan lebih maju lagi.
Dengan kenaikan gaji pokok dan tunjangan fungsional, diharapkan para guru akan lebih giat lagi mengajar dan mendidik seluruh siswanya agar menjadi siswa yang berkualitas. Dengan banyaknya beasiswa, akan semakin banyak lagi anak-anak cerdas yang bisa menyelesaikan pendidikannya minimal hingga ke jenjang S-1 walaupun orang tuanya tidak mampu. Selama ini tingkat kesejahteraan guru di republik ini memang sangat rendah, sekalipun dibandingkan dengan guru-guru di Malaysia atau Singapura.
Tidak sedikit guru yang menyambi menjadi pedagang, tukang ojek, dan lainnya, hanya untuk memenuhi tuntutan kebutuhan keluarganya. Akibatnya perhatiannya terhadap perkembangan kualitas anak didiknya menjadi terabaikan. Dan sekarang hal ini tidak harus terjadi lagi. Burhan Nasution Jl. Walisongo X/9 Bojonggede Bogor


2. Pendidikan yang Berkeadilan
Oleh redaksi
Selasa, 15-Juli-2008, 09:41:46


Pendidikan yang baik dan berkeadilan adalah das sollen. Potret buram pendidikan nasional kita saat ini, adalah das sein. Das sein pendidikan menggugah kesadaran kita semua bahwa ketidakadilan sosial ekonomi dalam bidang pendidikan telah menghambat kamajuan dan pemerataan pendidikan. Betapa tidak, berbagai polemik tampak menyeruak secara bertubi-tubi ke hadapan kita. Ada siswa gantung diri karena tidak mampu bayar SPP, pemisahan kelas dalam golongan kaya-miskin, pro dan kontra RUU BHP, sampai pada liberalisasi pendidikan dan terbatasnya akses pendidikan masyarakat miskin.

Oleh OKY SYEIFUL RAHMADSYAH HARAHAP
Padahal, hak warga negara akan akses pendidikan mempunyai dasar hukum yang kuat. Pasal 31 (1) UUD `45, Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. Pasal 5 (1) UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Pasal ini memperkuat posisi warga negara dalam memperoleh kesempatan pendidikan.
Memasuki tahun ajaran baru, kecenderungan pendidikan mahal membuat para orang tua (calon) siswa/mahasiswa harus mengalokasikan setumpuk uang untuk membayar biaya pendidikan dan sumbangan ini-itu. Mungkin, bagi golongan the have (kalangan berduit), hal ini tidak terlalu merisaukan. Apalagi demi masa depan sang anak agar dapat belajar di sekolah/perguruan tinggi favorit. Beberapa perguruan tinggi negeri favorit pun dalam tahap seleksi telah membuka jalur khusus di luar Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Hal ini tentu saja merupakan angin segar kepada kalangan the have. Permasalahannya menjadi berbeda ketika realitas ini harus dihadapi oleh kalangan the have not.
Apalagi, jika sang anak secara akademis tidak cemerlang atau biasa-biasa saja. Mereka harus berjuang pada jalur SNMPTN yang sangat kompetitif. Jika berhasil pun, mereka masih dihadapkan pada persoalan pembayaran SPP setiap semesternya. Refleksi pendidikan menggugah kesadaran kita bahwa selama puluhan tahun, pendidikan tampak berpihak hanya kepada golongan the have dan individu-individu yang cemerlang secara akademis. Padahal kebanyakan masyarakat, calon peserta didik berasal dari kalangan biasa-biasa saja dan kalangan menengah ke bawah (baik secara akademik maupun ekonomis), tetapi punya kesadaran dan keinginan kuat untuk maju.
Realitas pendidikan yang hanya dapat diakses oleh segolongan orang, harus mulai diubah. Jangan sampai yang pintar semakin pintar, yang bodoh semakin bodoh; yang kaya bertambah kaya, yang miskin bertambah miskin. Seyogianya, pendidikan adalah untuk semua kalangan, yaitu siapa pun yang memiliki motivasi kuat untuk belajar; menembus batas SARA, batas geografis, batas ekonomis. Kepada mereka ini kesempatan untuk meraih pendidikan yang lebih tinggi patut diberikan. Neoliberalisme Realitas saat ini menunjukkan pendidikan telah menjadi barang yang luks (mewah). Bahkan tak ubahnya sebuah komoditas. Dapat diekspor dan diimpor, dibungkus dalam kemasan semenarik mungkin dan tentunya dengan marketing yang andal agar mampu meraih konsumen.
Washburn (2005) mengemukakan bahwa Academic administrators increasingly refer to students as consumers and to education and research as products. Inilah era pasar bebas, yaitu suatu era yang membuat peran negara semakin dieliminasi untuk ikut campur mengatur dan memengaruhi harga. Memang, lembaga pendidikan merupakan bagian dari sistem sosial, ekonomi, dan politik yang ada. Jika sistem yang dominan saat ini adalah menguatnya kebijakan neoliberalisme, yang diwujudkan melalui privatisasi semua public goods, termasuk pendidikan, sulit untuk berharap lembaga pendidikan mampu berperan sebagai badan independen untuk berdaya kritis terhadap rezim neoliberalisme.
Ada gejala yang kuat menunjukkan, lembaga pendidikan tengah mengembangkan diri menjadi suatu industri yang mengikuti logika kapitalisme pasar bebas, yang memosisikan peserta didik sebagai pasar dan ilmu pengetahuan maupun karya ilmiah sebagai komoditas. Artinya, lembaga pendidikan mulai bergeser dari yang semula didukung negara untuk pemenuhan hak-hak pendidikan dan mencerdaskan bangsa, menuju pada industri yang dikembangkan dan dikelola dengan sepenuhnya mengikuti logika permintaan dan penawaran pasar bebas. Makna pendidikan pun telah bergeser.
Pendidikan yang (mestinya) merupakan penggalian potensi diri baik yang manifes maupun yang laten, pembukaan cakrawala berpikir tentang realitas kehidupan, menumbuhkembangkan jiwa dan pola pikir merdeka yang tidak menghamba pada materi. Kenyataannya, lembaga pendidikan cenderung hanya memberikan pengajaran kepada peserta didiknya, tanpa melakukan proses pendidikan. Kecenderungan pengajaran konservatif menciptakan prototipe peserta didik yang baik: belajar teori secara tekun, menghafal sebanyak mungkin buku, manut terhadap isi buku dan ucapan sang dosen, lulus secepat-cepatnya, kemudian bekerja mencari uang sebanyak-banyaknya.
Pengembangan ilmu, daya kritis, kecerdasan sosial, kerelaan berkorban, keberpihakan terhadap kaum tertindas, menjadi kata-kata usang yang tidak populer. Makna dan tujuan pendidikan mengalami deviasi. Mansour Fakih (2002) mengemukakan, lembaga pendidikan perlu melakukan berbagai usaha transformasi didalam diri mereka sendiri sebelum mampu melakukan transformasi sosial secara luas. Yakni membongkar struktur tidak adil dan relasi yang tidak demokratis di dalam dunia kegiatan belajar-mengajar lebih dahulu. Ini berarti menggugat watak otoriter dan feodalisme didalam lembaga pendidikan. Untuk mewujudkannya, diperlukan usaha kolaboratif stakeholder pendidikan untuk bersama-sama melakukan transformasi relasi akademis mereka menjadi lebih demokratis.
Sepantasnya, pendidikan itu untuk semua kalangan, menembus batas kemampuan ekonomis. Kalangan tidak mampu pun berhak mendapat kesempatan dan bantuan meraih pendidikan yang lebih tinggi.*** Penulis, Sekjen Club of Bandung, pemerhati politik pendidikan.


3. Membangun Budaya Safety

Oleh redaksi
Kamis, 27-Maret-2008, 09:38:36

Bulan K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja) setiap tahun dicanangkan antara medio Januari dan Februari. Namun, bagai anjing menggonggong kafilah berlalu, lewat begitu saja. Artinya, aspek safety perlu diangkat ke level atas. Bila tidak, nyawa menjadi taruhannya. Safety saat ini belum membudaya. Pemahaman kita terhadap safety relatif buruk. Jangankan pegawai biasa, pejabat pemerintah/perusahaan pun sering tidak paham akan tanggung jawab mereka dalam menciptakan kondisi kerja yang selamat. Untuk mengenal tingkatan budaya safety, bisa dilihat beberapa contoh di bawah ini.

Oleh M. A. Bustomi Secara alami (naluriah), manusia memiliki insting untuk selamat. Sejak kecil, alam mengajarkan bahwa celaka itu tidak menyenangkan. Sifat ini pun akan mewarnai perilaku manusia dalam bekerja. Seterbelakang apa pun kita, pasti memiliki keinginan untuk selamat. Namun, patut disadari bahwa di dunia industri, telah masuk teknologi dan peralatan yang tidak sederhana. Tidaklah bijak bila perusahaan menggantungkan keselamatan karyawannya pada insting manusia (untuk selamat).
Menyelamatkan diri secala naluriah adalah tahap awal. Berikutnya, kategori pengawasan. Perusahaan telah memiliki kepedulian akan keselamatan kerja. Namun, komitmen manajemen belum kuat. Perusahaan bisa saja memiliki target safety, tetapi peranti untuk mengimplementasikannya belum komprehensif. Pelatihan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan karyawan relatif belum mendapat porsi. Dengan demikian, penerapan program safety sering kali bergantung pada faktor pengawasan. Sebagai contoh, implementasi program alat pelindung diri (APD) contohnya helm kerja, sering kali dianggap sebagai hal merepotkan dan tidak nyaman alias ribet.
Dengan kata lain, mandor ataupun safety officer harus bertindak seperti polisi yang tugasnya mengawasi karyawan. Sungguh pekerjaan yang kurang ideal. Tidak mungkin mandor akan mengawasi bawahannya terus -enerus, effort-nya terlalu besar dan risikonya terlalu tinggi. Selanjutnya, mandiri. Sistem keselamatan kerja sudah tersedia. Karyawan umumnya memiliki pemahaman baik tentang safety. Penerapan APD, misalnya, tidak dianggap hal merepotkan, tetapi merupakan kebutuhan. Dengan kata lain, penerapan aspek safety sudah terlaksana secara mandiri. Dalam budaya ini kita sudah bicara tentang kualitas, helm kerja tak sekadar dipakai di kepala, tetapi harus memiliki standar yang baik.
Tugas mandor tidak lagi seperti polisi. Safety sudah terinternalisasi ke dalam diri karyawan. Terakhir, perilaku matang. Dalam tingkatan ini sudah tercipta kondisi di mana mempertahankan lingkungan kerja yang menjunjung keselamatan sudah menjadi milik bersama. Kondisi seperti ini akan terwujud bilamana di perusahaan tersedia program yang komprehensif untuk terlaksananya kondisi kerja yang selamat. You see it -- you own it, begitu istilah kerennya. Jadi, seorang karyawan akan berani mengingatkan temannya ataupun memberi masukan kepada manajemen tatkala ia melihat hal yang membahayakan. Fase inilah yang harus kita tuju. Memang tidak mudah, tetapi ini adalah tanggung jawab kita bersama, khususnya manajemen di semua lapisan kepemimpinan.
Manajemen keselamatan Safety adalah sistem manajemen yang mengatur tata laksana pengelolaan keselamatan kerja. Tujuan utamanya untuk menghindarkan kecelakaan. Di Amerika dikenal dengan PSM (Process Safety Management), di Indonesia namanya SMK3 (Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja). Komitmen akan K3 merupakan hal yang sangat penting dan mendasar di perusahaan. Tanpa komitmen manajemen, safety adalah nonsense. Safety merupakan tata nilai yang luhur sehingga tidak berlebihan bila dikatakan, perusahaan yang tidak menjunjung norma K3, maka manajemennya boleh dibilang tidak punya nurani.
Keselamatan karyawan adalah tanggung jawab perusahaan, dalam artian bahwa manajemen harus membangun sistem keselamatan kerja. Tercakup dalam SMK3 ini, di antaranya, identifikasi risiko, izin kerja (mengelola risiko pekerjaan), pemeliharaan peralatan, investigasi kecelakaan (untuk menghindari kecelakaan serupa pada masa yang akan datang), hingga ke sistem tanggap darurat. Bila aspek-aspek dalam SMK3 dilaksanakan, secara teoretis kecelakaan bisa dihindarkan. Di Indonesia, sebenarnya telah tersedia perundangan tentang keselamatan kerja yaitu UU No. 1/1970. Bahkan, untuk pengusahaan minyak dan gas bumi telah diatur melalui Mijn Politie Reglement (MPR) No. 341 yang diterbitkan tahun 1930.
Meski hal tersebut telah diatur sejak puluhan tahun lalu, ternyata kinerja keselamatan kerja antara satu dan lain perusahaan sangatlah bervariasi. Ada perusahaan yang sangat peduli, ada pula yang acuh-beybeuh. Artinya, pemerintah harus mengondisikan agar perusahaan menjalankan program keselamatan kerja. Di tingkat SMK3 inilah pemerintah harus melaksanakan perannya, melakukan fungsi kontrol karena merupakan kewajiban pemerintah untuk memberi perlindungan terhadap warga negaranya. Sayangnya, saat ini kontrol pemerintah terasa lemah. Safety diperhatikan tidak seperti aspek UMR (pengupahan), padahal keduanya sama-sama memiliki landasan hukum.
Pematuhan implementasi SMK3 seharusnya analog dengan pematuhan UMR. Bila pemerintah mengontrol pelaksanaan UMR, untuk SMK3 pun layaknya demikian. Selanjutnya, perlu dibangun ajang pertarungan kinerja safety dalam persaingan bisnis. Produk barang/jasa dari perusahaan yang safety performance-nya buruk, layak mendapat disinsentif dari konsumen. Lembaga keuangan pun sebaiknya memiliki kebijakan aliran finansial dikaitkan dengan kinerja K3. Bila hal ini disatukan, safety akan menduduki posisi yang dipentingkan. Untuk percepatan proses di atas, peran media massa perlu dioptimalkan karena sentilan pers akan punya arti tersendiri.
Last but not least, bangsa ini harus sadar bahwa negara maju sudah lebih dahulu menerapkan norma K3, mereka telah lebih siap bertarung manakala safety dijadikan unggulan dalam persaingan bisnis. Mari untuk tidak alon-alon asal kelakon, kita harus gesit dan pandai mengantisipasi kecenderungan global karena semua ini pada akhirnya akan memengaruhi daya saing produk Indonesia di perdagangan internasional. ***
Penulis, bekerja di perusahaan energi.


4. Arah Terorisme Kini Justru Semakin Brutal
Oleh redaksi
Kamis, 23-Oktober-2008, 06:41:17

Belum hilang ingatan kita tentang kedahsyatan dan kengerian yang luar biasa akibat serangan teroris yang diwujudkan dengan ledakan Bom Bali. Kini, aparat keamanan baru saja menggerebek rumah kontrakan di Kelapa Gading, Jakarta Utara dengan menemukan bahan peledak beserta perlengkapannya.

Bukan itu saja, pihak Kepolisian Republik Indonesia menyatakan, bahwa kelompok teroris yang ditangkap di Kelapa Gading, Jakarta Utara tersebut tengah mengincar depo minyak Pertamina di Plumpang, Jakarta Utara. Seperti kita ketahui, Plumpang merupakan jalur penampung suplai minyak. Kalau itu bermasalah kita akan mengalami krisis energi, karena dari sanalah bahan bakar disebar. Jika serangan teroris itu benar-benar terjadi, maka tiga pulau akan mengalami krisis energi. Ketiganya adalah Pulau Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi. Apabila itu terjadi, maka yang rugi adalah umat muslim sendiri.
Tentunya hal ini membuat perkembangan akan terorisme menjadi hal yang tidak lazim. Kalau melihat kecenderungan yang selama ini terjadi, ada kepercayaan bahwa teroris di Indonesia memiliki jaringan dengan kelompok Al Qaeda dan Jamaah Islamiyah. Kelompok-kelompok tersebut cenderung melihat sumber ancaman ada pada Amerika Serikat dan sekutunya. Sehingga, target serangan mereka pun negara-negara tersebut. Aset-aset yang dihancurkan biasanya adalah aset negara-negara kapitalis, semisal kantor kedutaan besar.
Bila melihat perkembangan tersebut, dapat dikatakan aksi terorisme kini sudah jelas-jelas membabi buta. Menurut saya, mereka hanya ingin menunjukkan eksistensi brutal tanpa mengindahkan dampak dan akibatnya. Bagaimana mungkin, bila seorang muslim bakal membunuh sesama muslim secara sadis.
Oleh karena itu, bagi aparat keamanan dan intelijen agar sedapat mungkin melakukan pengendusan sebelum kejadian, seperti kejadian di Palembang, Sumatera Selatan dan Kelapa Gading, Jakarta. Bravo aparat keamanan.
JENIFER WOWORUNTU Komp. Lenteng Agung Persada Kav. 54A JAKARTA SELATAN jenifer_w@plasa.com



5. Sosialisasi Pemilu Belum Maksimal
Oleh Jeffry
Minggu, 26-Oktober-2008, 06:21:33

Kurang lebih tinggal 5 bulan lagi hajatan pesta demokrasi 2009 akan dilaksanakan, namun masih banyak masyarakat belum mengetahui kapan pemilu dilaksanakan. Ketidaktahuan masyarakat terhadap pelaksanaan pemilu 2009 nampaknya karena kurangnya sosialisasi yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Survei prapemilu yang dilaksanakan KPU bekerjasama dengan International Foundation for Electoral System, IFES-USAID menunjukkan mayoritas masyarakat Indonesia ternyata tidak mengetahui kapan bulan penyelenggaraan pemilu 2009 digelar. Survei tersebut telah memperlihatkan bahwa kinerja KPU dalam menyosialisasikan pemilu ternyata tidak maksimal. Endang Sulastri, anggota KPU bidang Sosialisasi dan Pendidikan Pemilih, Jum’at (24/10), menyadari bahwa sosialisasi pemilu yang diterima oleh masyarakat memang belum maksimal.
Pasalnya, berdasarkan survey tersebut sebanyak 61 persen dari total 2.500 responden di 25 provinsi di Indonesia meyatakan tidak mengetahui kapan pemilu dilaksanakan. Hanya sekitar 12 persen yang bisa menjawab bulan penyelenggaraan pemilu dengan tepat, yaitu bulan April 2009. KPU menyadari bahwa kesuksesan pemilu termasuk didalamnya kesuksesan dalam sosialisasi. Survei KPU tersebut, selain mengungkapkan kurangnya sosialisasi, juga menunjukkan bahwa tingkat keinginan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pemilu cukup tinggi. Lebih dari 90 persen responden menunjukkan keinginan untuk terlibat dalam pemilu, mulai dari pilpres hingga pemilu anggota legislatif daerah.
Namun sayangnya, dalam survei ini menyebutkan tingginya keinginan untuk berpartisipasi tidak didukung dengan informasi yang cukup mengenai proses pemilu 2009. Hanya 2 persen yang mengaku banyak memperoleh informasi mengenai proses pemilu dan sekitar 54 persen mengaku tidak tahu sama sekali proses pemilu.
KPU sebaiknya lebih gencar lagi mensosialisasikan pelaksanaan pemilu 2009 kepada masyarakat luas diberbagai media. Selama ini sosialisasi pemilu tidak efektif, tidak tepat dalam memilih media, sehingga tidak sampai ke sasaran yang diinginkan.
Haendi, Bogor

6. Lebih Baik Tinggal DI Negeri Sendiri, Dari Pada Sengsara Di Negeri Orang
Oleh redaksi
Sabtu, 04-Oktober-2008, 01:18:04

Baru-baru ini, sekitar 100 warga Papua yang lari mengungsi ke negara tetangga Indonesia yaitu Papua Nugini menuntut Komisi Tinggi untuk Urusan Pengungsi Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNHCR) untuk memindahkan mereka ke Vanuatu. Akan tetapi, Richard Towle dari UNHCR menegaskan bahwa pihaknya menolak permintaan warga Papua tersebut. Para pengungsi Papua tersebut menyeberang ke Papua Nugini beberapa tahun lalu dan kini tinggal di kota Port Moresby. Tahun lalu, mereka diusir dari tanah sewaan yang mereka tinggali dengan tenda-tenda dan kain terpal.

Sebagai pengungsi bukanlah hal yang menyenangkan, selain kehidupan yang sangat memprihatinkan juga menyusahkan negara yang menjadi tempat pengungsian. Pelarian mereka ke negara orang bukan solusi yang tepat untuk dapat dukungan dari dunia internasional agar Papua terlepas dari Indonesia. Warga Papaua yang mengungsi ini pada awalanya berkeyakinan bahwa dengan mengungsi ke Papua Nugini mereka akan memperoleh bantuan makanan dan persenjataan dari PBB dan dari Pemerintah Papua Nugini.
Dengan bantuan persenjataan mereka berharap dapat melakukan serangan balik terhadap militer Indonesia yang sudah menguasai tanah Papua. Di pengungsian mereka ternyata tidak pernah mendapatkan bantuan senjata. Mereka hanya mendapatkan bantuan makanan dari PBB melalui UNHCR. Mereka ternyata hanya di tipu oleh kelompok OPM maupun Lembaga-lembaga Swadaya lokal maupun asing.
Kengototan mereka untuk tetap mengungsi di negeri orang tidak lain kerena mereka diperalat oleh LSM/NGO lokal dan asing yang tetap mempertahankan keberadaan mereka, untuk mendeskritkan Indonesia di mata dunia internasional, sehingga Papua dapat terlepas dari negeri tercinta ini. Ini terbukti pernyataan Palang Merah Internasional (ICRC) mengaku sulit memulangkan ribuan pengungsi asal Papua yang kini bermukim di berbagai tempat di negara tetangga, Papua Nugini (PNG). Kesulitan itu, terkait adanya lembaga lain yang telah menyatakan bertanggung jawab atas nasib para pengungsi tersebut.
Pemerintah Indonesia sangat terbuka untuk menerima mereka untuk kembali ke kampung halamannya. Pemerintah RI melalui Pemprov Papua bekerja sama dengan aparat keamanan (TNI/Polri) telah menyediakan pemukiman sehat dan bantuan peralatan pertanian bagi para pengunsi yang telah kembali, sehingga mereka betah membangun kampung halamannya. Kembalilah pulang ke kampung halaman, jangan tertipu oleh manisnya janji-janji OPM, LSM lokal maupu asing yang hanya memanfaatkan anda.
Lebih baik hidup negeri sendiri dari pada terlunta di negara orang. Mari membangun Papua berasama-sama lupakan keinginan untuk memisahkan Papua dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Yonas G

9 komentar:

AdeLiNe_nOvaRia mengatakan...

Nama: Adeline Novaria Pangestu
Kelas: XII IPA 1
No.absen : O1

1.Di wacana ini tertulis pemerintah akan meningkatkan mutu sekolah menengah kejuruan,kesejahteraan para peneliti dan beasiswa bagi siswa berprestasi dari dana APBN,menurut saya semua itu akan sia-sia saja bila tidak diimbangi dengan perbaikan fasilitas,saya yakin Anda juga mengetahui bagaumana bangunan fisik sekolah yang ada di pedalaman.Maka sebaiknya dana pendidikan tidak hanya meningkatkan kesejahteraan para tenaga pengajar namun juga memperhatikan fasilitas pendidikan.
Mengenai dengan kenaikan gaji para guru apakah ini juga dapat meningkatkan mutu pendidikan?Menurut saya itu bukan hal yang pasti.Sekarang banyak anak-anak yang kurang mampu namun memiliki otak yang cerdas?
apakah sebaiknya kita harus mempertimbangkan lagi mengenai dana APBN pendidikan yang hanya menyentil kesejahteraan para pendidik?
Kalau begitu belum tentu pendidikan di negara kita dapat meningkat kualitas dan mutunya
Bagaimana kalau dana APBN tidak hanya diberikan hanya untuk kesejahteraan pendidik namun juga untuk anak-anak yang kurang mampu namun memiliki potensi yang cemerlang niscaya dengan cara ini semua pihak akan merasakan kesejahteraan dan mutu pendidikan di negara kita dapat terus meningkat.

3.Dalam wacana terdapat kalimat yang menunjukkan bahwa adanya perusahaan yang tetap acuh mengenai keselamatan kerja.Bagaimana hal ini dapat terjadi? Bukankah semua sudah ada undang-undangnya?Apa tindakan dari pemerintah?
selintas pemerintah juga tidak peduli padahal pemerintah seharusnya melindungi segenap rakyatnya.Kita pun tahu bahwa keselamatan itu merupakan salah satu hal yang paling penting.Bagaimana tindakan perusahaan bila terjadi kecelakaan?Apakah hanya memberi kompensasi terhadap korban?
Seharusnya bila terjadi sebuah musibah maka perusahaan berhak mencari tahu asal mula musibah tersebut terjadi, selidiki apakah terjadi dari kesalahan manusia atau dari prosedurnya serta evaluasi prosedur yang dianjurkan guna mencegah musibah tersebut terjadi lagi.
Namun,seharusnya keselamatan tidak hanya didapat dengan cara mengikuti prosedur saja melainkan diri sendiri bila tahu akan terjadi suatu bahaya maka sebaiknya kita menghindar atau menjauhinya jangan tetap tidak peduli dengan mengatakan semua akan baik-baik saja.
Dengan adanya kesadaran diri sendiri mengenai keselamatan jiwa saat bekerja maka musibah di tempat kerja pun dapat dihindari.Perusahaan seharusnya mengetahui dan menyadari hal itu bukan hanya ingin mencari keuntungan saja dengan mengorban nyawa pekerjanya.

Gloria Marcella mengatakan...

Nama : Gloria Marcella M.W
Kelas : XII IPA 1
No : 14


3.Kita semua menginginkan safety namun tidak semua pihak mampu bertanggung jawab dalam menciptakan kondisi kerja yang selamat. Sebagian orang masih menanggapi keselamatan sebagai hal yang biasa dan mudah diatur sehingga dianggap sebagai hal yang tidak penting. Perusahaan telah memiliki kepedulian akan keselamatan kerja namun kepedulian ini tidak diiringi dengan pembekalan pengetahuan dan keterampilan karyawan akan pentingnya keselamatan. Setiap orang tentunya memiliki insting untuk selamat namun hal ini perlu didukung dengan kesadaran akan keselamatan. Mandor yang terus-menerus mengawasi bawahannya, bukan merupakan solusi yang tepat dalam menyadarkan karyawan. Setiap karyawan hendaknya disadarkan akan pentingnya keselamatan. Untuk itu, dibutuhkan komitmen manajemen. Setiap karyawan menjadi tanggung jawab perusahaan. Perusahaaan juga hendaknya menyediakan fasilitas yang aman untuk para karyawannya. Sehingga tercipta keselamatan.



5. Pemilu 2009 merupakan salah satu peristiwa penting dalam sejarah perkembangan Indonesia. Namun sebagian masyarakat Indonesia belum mengetahui waktu pelaksanaan Pemilu 2009. Hal ini menunjukkan kurangnya sosialisasi yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Seharusnya KPU gencar dalam mensosialisasikan pelaksanaan Pemilu 2009 kepada masyarakat luas dalam berbagai media. Jika KPU tidak mapu seharusnya ia bekerja sama dengan media elektronik maupun media cetak. Mengingat begitu banyak masyarakat yang akan terlibat dalam Pemilu 2009, sehingga waktu pelaksanaannya harus diberitahukan kepada seluruh masyarakat Indonesia.

novikey mengatakan...

Nama:Novianty Kosasih
Kelas:XII IPA 1
No. Absen:36

1. Anggaran pendidikan memang sudah sepatutnya disediakan oleh pemerintah. Walaupun dalam kondisi berat sekalipun, seharusnya hal itu sudah terdapat di dalam program APBN. Pemerintah juga seharusnya memperhatikan sekolah-sekolah lain yang non-kejuruan. Memang sekolah kejuruan menghasilkan tenaga kerja yang akan menunjang pertumbuhan industri, namun pelajar sekolah menengah atas pun turut serta dalam proses pertumbuhan industri.
Selain itu juga, dengan adanya anggaran Rp 224 triliun belum menjamin dunia pendidikan Indonesia akan lebih maju lagi. Walaupun anggaran telah disediakn, kalau tidak dibarengi dengan peningkatan kualitas fasilitas dan mutu pendidikan secara nyata. Anggaran tersebut malah akan tidak berguna dan menghabiskan APBN. Seharusnya ada suatu program yang akan mengatur penggunaan anggaran pendidikan itu. Fasilitas-fasilitas sekolah dilengkapi, perbaikan-perbaikan sekolah menjadi layak pakai.
Memang bisa dikatakan kesejahteraan guru-guru di Indonesia lebih rendah dari guru-guru di Malaysia dan Singapura, namun Indonesia masih berada ditahap pertumbuhan. Kita pasti nantinya akn memperoleh kesejahteraan yang sama, tapi memang harus selangkah demi selangkah. Mengingat kondisi ekonomi negara yang masih sulit. Hal itu tidak dapat dengan mudah dilakukan.
Pemerintah memang harus mulai memperhatikan nasib para pendidik. Banyak yang mencari kerja sampingan akibat tidak mampunya memenuhi kebutuhan keluarga. Kita harus sadar bahwa para gurulah yang aka mendidik generasi muda penerus bangsa.


3. Safety memang merupakan hal terpenting di dalam dunia kerja. Sedikit salah langkah maka akan merugikan kita sendiri. Kita tidak dapat menyalahkan semua perusahaan tentrang aspek safety. Ada banyak perusahaan yang menerapkan program safety sesuai aturan. Pelatihan tentang safety pun telah dilakukan. Aspek mandor memang tidak ideal. Namun mandor sangat diperlukan. Kita tahu mandor adalah orang-orang yang pastinya lebih mengerti akan safety para karyawan. Sesekali melakukan inspeksi merupakan salah satu cara yang efektif untuk meningkatkan kedisiplinan para karyawan.
Memang keselamatan kerja adalah tanggung jawab perusahaan, namun hal yang paling dituntut adalah kesadaran diri pribadi, untuk apa segala macam pelatihan, fasilitas, dan sistem yang diterapkan, bila pegawai itu sendiri tidak memikirkan keselamatannya. Disini kerjasama perusahaan dan para karyawan sangat diperlukan. Bila hal ini telah dijalankan niscaya semuanya lancar dan keselamtan kerja terjamin.
Pemerintah terus-menerus mendengungkan keselamatan kerja para pegawai, pemerintah telah berupaya mengontrol dan mengurangi terjadinya kecelakaan kerja. Tapi hal ini kembali lagi ke pribadi masing-masing, segala upaya dan kontrol tidak akan berguna jika tidak ada keinginan untuk berubah dari diri sendiri. Kita tidak dapat terus menggantungkannya pada insting. Kita harus sadar dan bertanggungjawab mendukung program keselamatan kerja.

Syl'Blog mengatakan...

Nama :Syl Via
Kelas :XII IPA 1
No :39

3. Membnagun Budaya Safety
Pada zaman era globalisai ini, masyarakat International menerapkan standard acuan dalam dunia industri, salah satunya adalah keselamatan dan kesehatan kerja. Apabila saat ini industri pengekspor telah dituntut untuk menerapkan Manajemen Kualitas serta Manajemen Lingkungan maka bukan tidak mungkin tuntutan terhadap penerapan Manajemen Keselamatan dan Kesehatan kerja juga menjadi tuntutan pasar internasional. Secara normatif sebagaimana terdapat pada PER.05/MEN/1996 pasal 1, Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) adalah bagian dari sistem manajemen keseluruhan yang meliputi struktur organisasi, perencanaan, tanggung jawab, pelaksanaan, prosedur, proses dan sumberdaya yang dibutuhkan bagi pengembangan, penerapan, pencapaian, pengkajian dan pemeliharaan kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja dalam rangka pengendalian risiko yang berkaitan dengan kegiatan kerja guna terciptanya tempat kerja yang aman, efisien dan produktif.
Memang benar SMK3 memiliki berbagai kekuarangan dibandingkan dengan K3 yang dimiliki Negara lain. Kekurangan yang paling dasar adalah peraturan pendukung mengenai keselamatan kerja yang masih terbatas dibandingkan dengan organisasi internasional. Tapi hal ini masih dapat dimaklumi karena masalah yang sama juga dirasakan oleh negara-negara di Asia dibandingkan negara Eropa atau Amerika, karena SMK3 masih merupakan tahap awal. Selain itu sertifikasi SMK3 yang hanya dapat dikeluarkan oleh Menteri Tenaga Kerja (Pemerintah) dirasakan kurang membantu promosi terhadap SMK3 dibandingkan dengan sertifikasi ISO series. Permasalahan yang paling utama adalah peran aktif dari pengusaha Indonesia yang masih belum mengutamakan K3 di Industrinya karena masalah klasik yaitu cost (biaya).Sudah sepantasnya kita harus mengatasi kekurangan-kekurangan tersebut yaitu dengan cara menerapkan SMK3 sebaik-baiknya sehingga industri yang kompetitif, aman, dan efisien dalam menghadapi pasar terbuka dapat terwujud



5. Sosialisasi Pemilu Kurang Maksimal
Sosialisasi pemilu yang dilakukan oleh KPU saat ini masih kuang maksimal, terbukti bahwa ada berbagai keluhan yang diungkapkan oleh masyarakat. Kurangnya sosialisasi ini tentu akan menimbulkan jumlah golput yang semkin besar. Hal ini disebabkan karena kurangnya dana untuk penyelenggaraan sosialisasi pemilu. Pengelolaan dana untuk pelaksanaan pemilu dinilai sentralistik sehingga menghambat persiapan di daerah. Akibatnya sejumlah program terpaksa ditunda. Untuk mengatasi hal tersebut sudah sewajarnyalah KPU harus menacari cara yang intensif untuk seperti meminta tambahan dana kepada pemerintah maupun DPR. Cara lain yang bisa dilakukan adalah dengan meminta bantuan kepada media masa untuk memplubikasikan informasi mengenai pemilu yang akan diadakan 5 bulan kedepan. Dengan demikian diharapkan sosialisasi masyarakat menjadi lebih baik.

Na-Nie.. mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Na-Nie.. mengatakan...

Nama: Nanie Intan Pratiwi
Kelas: XII IPA 1
No. absen: 34

3. Peralatan-peralatan dan teknologi yang cangging memang diperlukan dalam membangun budaya safety. Namun, peralatan dan teknologi yang canggih saja tidak cukup bila tidak ada kesadaran masing-masing individu untuk berhati-hati dalam bekerja. Selain itu, pernyataan mengenai keselamatan karyawan adalah tanggung jawab perusahaan memang benar. Namun, sampai saat ini hanya segelintir perusahan yang benar-benar melakukan tanggung jawabnya, misalnya dalam memenuhi jumlah alat-alat keselamatan yang sesuai, seperti tabung pemadam kebakaran dan jarangnya dilakukan pelatihan untuk menyelamatkan diri secara tertib di keadaan yang genting. Diharapkan ke depannya, perusahaan-perusahaan di Indonesia dapat menerapkan pelatihan menyelamatkan diri, dapat memenuhi jumlah alat-alat keselamatan, dan dapat menerapakan norma K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja), sehingga angka kecelakaan-kecelakaan kerja yang selama ini terjadi di Indonesia dapat dikurangi dan ditekan serendah mungkin.

5. Ketidaktahuan masyarakat terhadap pelaksanaan pemilu 2009 nampaknya bukan hanya karena kurangnya sosialisasi yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), tetapi disebabkan oleh ketidakacuhan masyarakat terhadap pelaksanaan pemerintahan. Sudah banyak sosialisasi yang dilakukan oleh KPU maupun dari partai-partai politik, misalnya melalui spanduk-spanduk dan media telekomunikasi, seperti televisi. Selain itu, kurang maksimalnya KPU dalam mensosialisasikan pemilu 2009 mungkin disebabkan masalah dana dan media yang tidak menjangkau seluruh daerah. Oleh karena itu, sudah sewajarnya KPU mensosialisasikan pemilu 2009 sampai ke pelosok-pelosok daerah, tidak hanya di kota-kota besar agar semua warga negara dapat mengambil bagian dalam proses pemerintahan negara, misalnya dengan menggunakan media yang tepat seperti dengan menggunakan mobil keliling untuk memberitahukan masyarakat di pedesaan yang jarang memiliki televisi dan teknologi canggih lainnya, bahwa akan diadakannya pemilu pada April 2009.

~Hope the BEst~ mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
~Hope the BEst~ mengatakan...

Nama: Cindy Prayogo
Kelas: XII IPA 1
No.Absen: 7

2.Pendidikan memang tidak bisa dilepaskan dari segi ekonomi. Semua fasilitas yang disediakan oleh suatu lembaga pendidikan didapat dari sederet angka nol. Maka dari itu, tidak heran jika peningkatan fasilitas sekolah turut menambah peningkatan biaya yang dikenakan terhadap murid. Itu sudah menjadi harga yang harus dibayar dalam dunia pendidikan kita.
Tentu kita semua setuju bahwa pendidikan tidak boleh mengenal kelas. Semua orang berhak mengenyam pendidikan terlepas dari status ekonominya. Namun demikian, di zaman sekarang ini, kita tidak dapat memperoleh sesuatu tanpa diiringi dengan kerja keras yang setimpal. Jalan satu-satunya untuk memperoleh kemudahan dalam dunia pendidikan dengan kondisi ekonomi pas-pasan adalah belajar yang rajin dan terus mencetak prestasi agar dapat memperoleh beasiswa. Sudah saatnya kita bangun dari angan-angan naif kita. Segala sesuatu yang ingin kita capai harus melalui suatu pengorbanan. Kita harus sadar bahwa di dunia ini tidak ada yang gratis.

6.Hidup di negara sendiri bisa jadi prospek yang cukup menyenangkan sekaligus menguntungkan. Namun, rancangan kehidupan sedemikian rupa hanya dapat tercapai jika negara tersebut memfasilitasi seluruh kehidupan masyarakatnya. Kenyataan yang terjadi di Indonesia justru berbanding terbalik dengan harapan. Kehidupan rakyat di Indonesia serba kekurangan. Jurang ketimpangan sosial dalam masyarkat sudah terlanjur mengakar kuat di Indonesia. Yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin. Kodrat semacam ini sulit diubah apalagi dihapus. Pemerintah Indonesia hingga saat ini pun belum melakukan tindakan nyata untuk menanggulangi fenomena ini.
Lalu, yang menjadi tanda tanya besar adalah apakah dengan kondisi sedemikian rupa, Indonesia sanggup memberi perhatian penuh terhadap seratus warga Papua yang mengungsi ke Papua Nugini? Pasalnya, tanpa kehadiran beban seratus orang saja, Indonesia sudah terseok-seok, coba bayangkan bagaimana jadinya nasib Indonesia nantinya. Lebih jauh lagi, mau dikemanakan nasib seratus orang tersebut?
Keputusan mereka untuk lepas dari Indonesia tentu bukan tanpa alasan. Mereka jelas sudah mengalami suka duka mengarungi hidup bersama pemerintahan Indonesia. Pengalaman itu mungkin memberikan mereka gambaran yang sangat jelas bagaimana tepatnya kehidupan di Indonesia. Mari kita berpikir kritis! Jika mereka merasa hidup di Indonesia merupakan suatu berkah, maka untuk apa mereka mengungsi ke negeri lain? Bujuk rayu berbagai pihak pun tidak akan mempan jika memang mereka menganggap pemerintah telah memberikan kehidupan yang layak untuk mereka. Dari kenyataan yang ada, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa mereka tidak mendapatkan apa yang seharusnya mereka dapatkan, bahkan tidak dalam standar minimum sekalipun. Hal ini memberi mereka semacam pelajaran. Mereka tidak ingin jatuh ke dalam lubang yang sama dua kali. Siapapun tak ada yang mau mengalami penderitaan yang sama dua kali. Wajar jika mereka menganggap tinggal sebagai pengungsi di negara lain jauh lebih baik daripada hidup di negeri sendiri. Sebelum Indonesia sungguh-sungguh mampu mengatur kehidupan masyarakatnya, maka lebih baik pemerintah tidak mengumbar janji-janji palsu.

velvet_ching mengatakan...

Nama : Suryana
Kelas : XII IPA 1
No. absen : 38

2. Pendidikan yang Berkeadilan

“Apalagi, jika sang anak secara akademis tidak cemerlang atau biasa-biasa saja. Mereka harus berjuang melalui jalur SNMPTN yang sangat kompetitif. Jika berhasil pun, mereka masih dihadapkan pada persoalan pembayaran SPP setiap semesternya. Refleksi pendidikan menggugah kesadaran kita bahwa selama berpuluh tahun, pendidikan tampak berpihak kepada golongan the have dan individu-individu yang cemerlang secara akademis. ”

Saya tidak setuju dengan opini tersebut. Menurut saya, pendapat anda terlalu memihak pada golongan the have not. Anda menilai bahwa golongan the have lebih diuntungkan karena memiliki uang, sedangkan the have not tidak diberi kesempatan atau disulitkan.
Pada faktanya, golongan the have memang pintar karena dituntut untuk menjaga image di mata masyarakat dan mereka memiliki uang untuk mengikuti berbagai pelajaran tambahan. Semangat mereka untuk bersaing itu bahkan lebih tinggi karena mereka dituntut untuk menjadi superior oleh orang tua mereka. Dalam hal itu, mental mereka telah dilatih untuk berkompetisi dan terus berusaha keras. Sedangkan bila kita melihat pada golongan the have not, masalah tidak memiliki uang malah dijadikan alasan untuk mengeluh. Padahal mereka hanya tidak memiliki mental untuk bersaing untuk mendapatkan pendidikan yang baik. Secara logis, tentunya pemerintah hanya akan memberikan bantuan atau hadiah bagi mereka yang telah berusaha dan berhasil mencapai prestasi tertentu. Maka, wajar saja kalau pemerintah memberikan hadiah bagi mereka yang cemerlang dalam bidang akademis. Apabila golongan the have not juga ingin diberikan bantuan dalam bentuk dana pendidikan, maka sudah seharusnya mereka berjuang keras untuk mencapai prestasi.
Miskin membuat beberapa orang memiliki jalan berpikir bahwa mereka tidak mempunyai uang untuk bersekolah di sekolah yang bagus. Padahal, untuk dapat masuk ke sekolah yang berkualitas pendidikannya itu tidak dilihat dari uang. Melainkan dari keinginan dan usaha seseorang dalam berjuang lebih gigih. Semua masalah kembali pada watak dan pribadi masing-masing. Kesempatan untuk memasuki sekolah favorit yang berkualitas itu sesungguhnya terbuka bagi semua orang baik yang kaya maupun yang miskin. Golongan the have maupun the have not memiliki peluang yang sama untuk bersaing secara adil dan sehat. Yang diperlukan oleh kaum the have not hanyalah semangat untuk mencapai cita-cita dan usaha yang dikeluarkan untuk mencapai cita-cita itu. Mental bersaing dan berkompetisi menjadi salah satu faktor penting bagi kedua golongan tersebut.
Apabila terkait masalah uang, pemerintah telah menyediakan dana subsidi bagi mereka yang berkekurangan. Golongan the have not dapat mencari sekolah berkualitas yang menawarkan beasiswa. Banyak sekolah-sekolah berkualitas yang mencari sumber daya manusia yang cerdas dan cermat dengan memberikan bantuan beasiswa bagi mereka yang berkekurangan.



4. Arah Terorisme Kini Justru Semakin Brutal

”Kalau melihat kecenderungan yang selama ini terjadi, ada kepercayaan bahwa teroris di Indonesia memiliki jaringan dengan kelompok Al Qaeda dan Jamaah Islamiyah. Kelompok-kelompok tersebut cenderung melihat sumber ancaman ada pada Amerika Serikat dan sekutunya. Sehingga target serangan mereka pun negara-negara tersebut.”

Saya tidak setuju dengan opini tersebut. Sebab teroris-teroris itu muncul karena adanya Perang Iran dengan Amerika Serikat. Pada perang tersebut sesungguhnya Amerika tidak bersalah, hanya saja karena rakyat muslim Iran banyak yang tewas selama perang tersebut maka muncul teroris-teroris yang mendendam pada Amerika Serikat. Pada faktanya, teroris-teroris muslim mengebom Pantai Bali karena di sana banyak orang barat. Padahal tidak semua bule itu berasal dari Amerika. Justru kebanyakan korban bom Bali itu adalah turis dari Australia. Teroris itu hanya mengebom karena ingin beraksi dan dilihat dunia bahwa ia membenci Amerika Serikat. Tetapi pada dasarnya cara yang digunakan tetaplah tidak benar. Apalagi membawa-bawa nama Islam. Secara logis, bahkan anak SD saja tahu kalau Tuhan Allah itu sangat berbelas kasih. Mana mungkin Tuhan memperbolehkan untuk membunuh, apalagi membunuh sesama saudara manusia. Hal yang dilakukan oleh teroris itu sangatlah tidak masuk akal. Pastilah teroris-teroris itu merupakan orang yang jalan pikirnya sudah tidak sehat lagi dan psikologisnya sedikit terganggu.
Hal yang harus diterapkan adalah pemberantasan teroris dari akar-akarnya. Teroris Indonesia yang mengebom Pantai Bali sesungguhnya didalangi oleh teroris dari Malaysia. Dalam memberi hukuman terhadap teroris tersebut, tidak perlu memberikan hukuman yang bertele-tele. Hal itu justru membuat para teroris tidak jera karena mengatahui bahwa hukum yang berlaku di Indonesia tidaklah seketat di negara luar yang lain. Hukuman yang pantas bagi mereka yang telah membunuh adalah hukuman mati pula dan hukuman itu harus dilaksanakan secepat mungkin tanpa ditunda-tunda. Aparat kepolisian juga harus didisiplinkan karena aparat keamanan itu bertanggung jawab atas keamanan rakyat. Dengan adanya teroris-teroris ini telah membuktikan bahwa hukum yang berlaku di Indonesia terlalu lembek dan aparat keamanan yang teledor. Untuk memberantas kejahatan, hukum dan keadilan yang ditegakkan haruslah disiplin.