Minggu, 09 November 2008

PERBAIKAN KALIMAT EFEKTIF

Blog ini dikhususkan bagi kalian yang berminat memperbaiki hasil kompetensi belajar. Sifatnya manasuka-sukarela, namun wajib bagi siswa yang belum mencapai kriteria ketuntasan minimal sebagimana telah ditetapkan.

Jumat, 07 November 2008

PUISI-PUISI PILIHAN KARYA SISWA-SISWI XII IPA 1 0809

Puisi itu memang indah. Puisi itu memang bermakna. Puisi itu memang luas. Puisi itu memang kaya hakikat hidup dan kehidupan. Puisi itu penuh nuansa romantika kehidupan. Wujudkanlah bahwa engkau ada. Selamat berkarya.

RUBRIK TANGGAPAN ATAS WACANA

Tanggapan kalian berikan dalam blog ini dengan langkah dan prosedural yang benar! Penilaian ditujukan pada kejelian kalian melihat opini penulis, menilai aspek kelemahan berpikirnya dengan jalan mengembalikan terlebih dahulu ke dalam silogisme, kemudian berikanlah tanggapan atas keranga berpikir penulis dengan rumusan bahasa yang sopan dan tepat serta kondusif. Berikanlah judul yang tepat dan menarik diikuti wacana tanggapan kalian dalam kemasan sistematika gagasan serta kecerdikan berpikir.

Minggu, 02 November 2008

MEMBERIKAN TANGGAPAN

LEMBAR KEGIATAN PEMBELAJARAN XII

Kompetensi dasar: Siswa mampu memberi tanggapan secara cerdas, cermat, dan tepat sesuai dengan kompetensi dan kewenangannya.
Indikator:
Siswa mampu menganalisis kerangka berpikir suatu pendapat.
Siswa menemukan dasar berpikir suatu pendapat.
Siswa mampu memenukan kebenaran suatu pendapat.
Siswa menemukan kelemahan suatu pendapat.
Siswa memberi tanggapan secara tepat dan proporsional sesuai dengan konteks masalahnya.

Bacalah dengan cermat dan teliti wavana berikut ! Analisislah kerangka berpikir pendapat tersebut kemudian telitilah kebenaran dan kelemahan gagasannya! Berdasarkan hal tersebut berilah tanggapan secara tepat dan proporsional sehingga berguna demi pengembangan gagasan secara luas berikutnya!

1. Mensyukuri Anggaran Pendidikan
Oleh redaksi
Kamis, 21-Agustus-2008, 08:59:01

Dalam pidato kenegaraan Rapat Pleno DPR Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjelaskan bahwa dalam RAPBN 2009 alokasi untuk anggaran pendidikan dinaikkan menjadi 20 persen. Ini tentu kabar menggembirakan khususnya bagi kalangan pendidik. Walaupun di tengah kondisi keuangan yang berat, namun pemerintah SBY rupanya tidak ingin APBN 2009 nanti dikatakan inkonstitusional, karena tidak mengalokasikan anggaran pendidikan sesuai dengan amanat konstitusi.

Anggaran bidang pendidikan itu terdiri atas anggaran untuk Departemen Pendidikan Nasional Rp 51,9 triliun, anggaran pendidikan Rp 69 triliun, tambahan anggaran pendidikan Rp 46,1 triliun serta anggaran yang ada dalam Dana Alokasi Umum untuk pemerintah provinsi sekitar Rp 20 triliun. Kenaikan anggaran bidang pendidikan di antaranya akan digunakan untuk menaikkan tunjangan fungsional guru menjadi minimal Rp 2 juta per bulan. Sekolah-sekolah kejuruan mendapat perhatian pemerintah. Untuk menyiapkan tenaga-tenaga kerja terampil guna semakin menunjang pertumbuhan industri, pemerintah juga akan meningkatkan mutu sekolah-sekolah menengah kejuruan (SMK). Kesejahteraan para peneliti juga akan ditingkatkan. Dan akan lebih banyak lagi beasiswa bagi pelajar dan mahasiswa berprestasi.
Tidak hanya kalangan guru dan peneliti yang kesejahteraannya akan ditingkatkan. Pemerintah pun merencanakan akan menaikkan gaji dan pensiunan PNS, TNI/Polri rata-rata 15 persen. Dengan kenaikan ini, maka PNS golongan terendah akan mendapatkan take home pay minimal Rp 1,7 juta per bulan. Bahkan pemerintah juga berencana akan memberikan gaji ke-13. Walaupun agak terlambat, kita patut bersyukur, akhirnya pemerintah mau juga mendengarkan perjuangan kalangan pendidik.
Selama ini, pemerintah memang agak pelit untuk mengalokasikan anggarannya untuk kepentingan pendidikan. Bahkan, dalam APBN sebelum 2008 pun, anggaran untuk menyiapkan kualitas sumber daya manusia ini masih di bawah 15 persen. Kita juga pantas mengucapkan selamat kepada Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) dan beberapa individu guru yang telah berhasil menekan pemerintah sehingga mau mengalokasikan anggarannya sebesar 20 persen untuk pendidikan setelah gugatan PGRI ke Mahkamah Konstitusi dikabulkan dan MK menyatakan bahwa APBN-P 2008 bertentangan dengan UUD 1945, karena rasio anggaran pendidikan hanya 15,6 persen. Kita berharap, dengan anggaran Rp 224 triliun, dunia pendidikan Indonesia akan lebih maju lagi.
Dengan kenaikan gaji pokok dan tunjangan fungsional, diharapkan para guru akan lebih giat lagi mengajar dan mendidik seluruh siswanya agar menjadi siswa yang berkualitas. Dengan banyaknya beasiswa, akan semakin banyak lagi anak-anak cerdas yang bisa menyelesaikan pendidikannya minimal hingga ke jenjang S-1 walaupun orang tuanya tidak mampu. Selama ini tingkat kesejahteraan guru di republik ini memang sangat rendah, sekalipun dibandingkan dengan guru-guru di Malaysia atau Singapura.
Tidak sedikit guru yang menyambi menjadi pedagang, tukang ojek, dan lainnya, hanya untuk memenuhi tuntutan kebutuhan keluarganya. Akibatnya perhatiannya terhadap perkembangan kualitas anak didiknya menjadi terabaikan. Dan sekarang hal ini tidak harus terjadi lagi. Burhan Nasution Jl. Walisongo X/9 Bojonggede Bogor


2. Pendidikan yang Berkeadilan
Oleh redaksi
Selasa, 15-Juli-2008, 09:41:46


Pendidikan yang baik dan berkeadilan adalah das sollen. Potret buram pendidikan nasional kita saat ini, adalah das sein. Das sein pendidikan menggugah kesadaran kita semua bahwa ketidakadilan sosial ekonomi dalam bidang pendidikan telah menghambat kamajuan dan pemerataan pendidikan. Betapa tidak, berbagai polemik tampak menyeruak secara bertubi-tubi ke hadapan kita. Ada siswa gantung diri karena tidak mampu bayar SPP, pemisahan kelas dalam golongan kaya-miskin, pro dan kontra RUU BHP, sampai pada liberalisasi pendidikan dan terbatasnya akses pendidikan masyarakat miskin.

Oleh OKY SYEIFUL RAHMADSYAH HARAHAP
Padahal, hak warga negara akan akses pendidikan mempunyai dasar hukum yang kuat. Pasal 31 (1) UUD `45, Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. Pasal 5 (1) UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Pasal ini memperkuat posisi warga negara dalam memperoleh kesempatan pendidikan.
Memasuki tahun ajaran baru, kecenderungan pendidikan mahal membuat para orang tua (calon) siswa/mahasiswa harus mengalokasikan setumpuk uang untuk membayar biaya pendidikan dan sumbangan ini-itu. Mungkin, bagi golongan the have (kalangan berduit), hal ini tidak terlalu merisaukan. Apalagi demi masa depan sang anak agar dapat belajar di sekolah/perguruan tinggi favorit. Beberapa perguruan tinggi negeri favorit pun dalam tahap seleksi telah membuka jalur khusus di luar Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Hal ini tentu saja merupakan angin segar kepada kalangan the have. Permasalahannya menjadi berbeda ketika realitas ini harus dihadapi oleh kalangan the have not.
Apalagi, jika sang anak secara akademis tidak cemerlang atau biasa-biasa saja. Mereka harus berjuang pada jalur SNMPTN yang sangat kompetitif. Jika berhasil pun, mereka masih dihadapkan pada persoalan pembayaran SPP setiap semesternya. Refleksi pendidikan menggugah kesadaran kita bahwa selama puluhan tahun, pendidikan tampak berpihak hanya kepada golongan the have dan individu-individu yang cemerlang secara akademis. Padahal kebanyakan masyarakat, calon peserta didik berasal dari kalangan biasa-biasa saja dan kalangan menengah ke bawah (baik secara akademik maupun ekonomis), tetapi punya kesadaran dan keinginan kuat untuk maju.
Realitas pendidikan yang hanya dapat diakses oleh segolongan orang, harus mulai diubah. Jangan sampai yang pintar semakin pintar, yang bodoh semakin bodoh; yang kaya bertambah kaya, yang miskin bertambah miskin. Seyogianya, pendidikan adalah untuk semua kalangan, yaitu siapa pun yang memiliki motivasi kuat untuk belajar; menembus batas SARA, batas geografis, batas ekonomis. Kepada mereka ini kesempatan untuk meraih pendidikan yang lebih tinggi patut diberikan. Neoliberalisme Realitas saat ini menunjukkan pendidikan telah menjadi barang yang luks (mewah). Bahkan tak ubahnya sebuah komoditas. Dapat diekspor dan diimpor, dibungkus dalam kemasan semenarik mungkin dan tentunya dengan marketing yang andal agar mampu meraih konsumen.
Washburn (2005) mengemukakan bahwa Academic administrators increasingly refer to students as consumers and to education and research as products. Inilah era pasar bebas, yaitu suatu era yang membuat peran negara semakin dieliminasi untuk ikut campur mengatur dan memengaruhi harga. Memang, lembaga pendidikan merupakan bagian dari sistem sosial, ekonomi, dan politik yang ada. Jika sistem yang dominan saat ini adalah menguatnya kebijakan neoliberalisme, yang diwujudkan melalui privatisasi semua public goods, termasuk pendidikan, sulit untuk berharap lembaga pendidikan mampu berperan sebagai badan independen untuk berdaya kritis terhadap rezim neoliberalisme.
Ada gejala yang kuat menunjukkan, lembaga pendidikan tengah mengembangkan diri menjadi suatu industri yang mengikuti logika kapitalisme pasar bebas, yang memosisikan peserta didik sebagai pasar dan ilmu pengetahuan maupun karya ilmiah sebagai komoditas. Artinya, lembaga pendidikan mulai bergeser dari yang semula didukung negara untuk pemenuhan hak-hak pendidikan dan mencerdaskan bangsa, menuju pada industri yang dikembangkan dan dikelola dengan sepenuhnya mengikuti logika permintaan dan penawaran pasar bebas. Makna pendidikan pun telah bergeser.
Pendidikan yang (mestinya) merupakan penggalian potensi diri baik yang manifes maupun yang laten, pembukaan cakrawala berpikir tentang realitas kehidupan, menumbuhkembangkan jiwa dan pola pikir merdeka yang tidak menghamba pada materi. Kenyataannya, lembaga pendidikan cenderung hanya memberikan pengajaran kepada peserta didiknya, tanpa melakukan proses pendidikan. Kecenderungan pengajaran konservatif menciptakan prototipe peserta didik yang baik: belajar teori secara tekun, menghafal sebanyak mungkin buku, manut terhadap isi buku dan ucapan sang dosen, lulus secepat-cepatnya, kemudian bekerja mencari uang sebanyak-banyaknya.
Pengembangan ilmu, daya kritis, kecerdasan sosial, kerelaan berkorban, keberpihakan terhadap kaum tertindas, menjadi kata-kata usang yang tidak populer. Makna dan tujuan pendidikan mengalami deviasi. Mansour Fakih (2002) mengemukakan, lembaga pendidikan perlu melakukan berbagai usaha transformasi didalam diri mereka sendiri sebelum mampu melakukan transformasi sosial secara luas. Yakni membongkar struktur tidak adil dan relasi yang tidak demokratis di dalam dunia kegiatan belajar-mengajar lebih dahulu. Ini berarti menggugat watak otoriter dan feodalisme didalam lembaga pendidikan. Untuk mewujudkannya, diperlukan usaha kolaboratif stakeholder pendidikan untuk bersama-sama melakukan transformasi relasi akademis mereka menjadi lebih demokratis.
Sepantasnya, pendidikan itu untuk semua kalangan, menembus batas kemampuan ekonomis. Kalangan tidak mampu pun berhak mendapat kesempatan dan bantuan meraih pendidikan yang lebih tinggi.*** Penulis, Sekjen Club of Bandung, pemerhati politik pendidikan.


3. Membangun Budaya Safety

Oleh redaksi
Kamis, 27-Maret-2008, 09:38:36

Bulan K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja) setiap tahun dicanangkan antara medio Januari dan Februari. Namun, bagai anjing menggonggong kafilah berlalu, lewat begitu saja. Artinya, aspek safety perlu diangkat ke level atas. Bila tidak, nyawa menjadi taruhannya. Safety saat ini belum membudaya. Pemahaman kita terhadap safety relatif buruk. Jangankan pegawai biasa, pejabat pemerintah/perusahaan pun sering tidak paham akan tanggung jawab mereka dalam menciptakan kondisi kerja yang selamat. Untuk mengenal tingkatan budaya safety, bisa dilihat beberapa contoh di bawah ini.

Oleh M. A. Bustomi Secara alami (naluriah), manusia memiliki insting untuk selamat. Sejak kecil, alam mengajarkan bahwa celaka itu tidak menyenangkan. Sifat ini pun akan mewarnai perilaku manusia dalam bekerja. Seterbelakang apa pun kita, pasti memiliki keinginan untuk selamat. Namun, patut disadari bahwa di dunia industri, telah masuk teknologi dan peralatan yang tidak sederhana. Tidaklah bijak bila perusahaan menggantungkan keselamatan karyawannya pada insting manusia (untuk selamat).
Menyelamatkan diri secala naluriah adalah tahap awal. Berikutnya, kategori pengawasan. Perusahaan telah memiliki kepedulian akan keselamatan kerja. Namun, komitmen manajemen belum kuat. Perusahaan bisa saja memiliki target safety, tetapi peranti untuk mengimplementasikannya belum komprehensif. Pelatihan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan karyawan relatif belum mendapat porsi. Dengan demikian, penerapan program safety sering kali bergantung pada faktor pengawasan. Sebagai contoh, implementasi program alat pelindung diri (APD) contohnya helm kerja, sering kali dianggap sebagai hal merepotkan dan tidak nyaman alias ribet.
Dengan kata lain, mandor ataupun safety officer harus bertindak seperti polisi yang tugasnya mengawasi karyawan. Sungguh pekerjaan yang kurang ideal. Tidak mungkin mandor akan mengawasi bawahannya terus -enerus, effort-nya terlalu besar dan risikonya terlalu tinggi. Selanjutnya, mandiri. Sistem keselamatan kerja sudah tersedia. Karyawan umumnya memiliki pemahaman baik tentang safety. Penerapan APD, misalnya, tidak dianggap hal merepotkan, tetapi merupakan kebutuhan. Dengan kata lain, penerapan aspek safety sudah terlaksana secara mandiri. Dalam budaya ini kita sudah bicara tentang kualitas, helm kerja tak sekadar dipakai di kepala, tetapi harus memiliki standar yang baik.
Tugas mandor tidak lagi seperti polisi. Safety sudah terinternalisasi ke dalam diri karyawan. Terakhir, perilaku matang. Dalam tingkatan ini sudah tercipta kondisi di mana mempertahankan lingkungan kerja yang menjunjung keselamatan sudah menjadi milik bersama. Kondisi seperti ini akan terwujud bilamana di perusahaan tersedia program yang komprehensif untuk terlaksananya kondisi kerja yang selamat. You see it -- you own it, begitu istilah kerennya. Jadi, seorang karyawan akan berani mengingatkan temannya ataupun memberi masukan kepada manajemen tatkala ia melihat hal yang membahayakan. Fase inilah yang harus kita tuju. Memang tidak mudah, tetapi ini adalah tanggung jawab kita bersama, khususnya manajemen di semua lapisan kepemimpinan.
Manajemen keselamatan Safety adalah sistem manajemen yang mengatur tata laksana pengelolaan keselamatan kerja. Tujuan utamanya untuk menghindarkan kecelakaan. Di Amerika dikenal dengan PSM (Process Safety Management), di Indonesia namanya SMK3 (Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja). Komitmen akan K3 merupakan hal yang sangat penting dan mendasar di perusahaan. Tanpa komitmen manajemen, safety adalah nonsense. Safety merupakan tata nilai yang luhur sehingga tidak berlebihan bila dikatakan, perusahaan yang tidak menjunjung norma K3, maka manajemennya boleh dibilang tidak punya nurani.
Keselamatan karyawan adalah tanggung jawab perusahaan, dalam artian bahwa manajemen harus membangun sistem keselamatan kerja. Tercakup dalam SMK3 ini, di antaranya, identifikasi risiko, izin kerja (mengelola risiko pekerjaan), pemeliharaan peralatan, investigasi kecelakaan (untuk menghindari kecelakaan serupa pada masa yang akan datang), hingga ke sistem tanggap darurat. Bila aspek-aspek dalam SMK3 dilaksanakan, secara teoretis kecelakaan bisa dihindarkan. Di Indonesia, sebenarnya telah tersedia perundangan tentang keselamatan kerja yaitu UU No. 1/1970. Bahkan, untuk pengusahaan minyak dan gas bumi telah diatur melalui Mijn Politie Reglement (MPR) No. 341 yang diterbitkan tahun 1930.
Meski hal tersebut telah diatur sejak puluhan tahun lalu, ternyata kinerja keselamatan kerja antara satu dan lain perusahaan sangatlah bervariasi. Ada perusahaan yang sangat peduli, ada pula yang acuh-beybeuh. Artinya, pemerintah harus mengondisikan agar perusahaan menjalankan program keselamatan kerja. Di tingkat SMK3 inilah pemerintah harus melaksanakan perannya, melakukan fungsi kontrol karena merupakan kewajiban pemerintah untuk memberi perlindungan terhadap warga negaranya. Sayangnya, saat ini kontrol pemerintah terasa lemah. Safety diperhatikan tidak seperti aspek UMR (pengupahan), padahal keduanya sama-sama memiliki landasan hukum.
Pematuhan implementasi SMK3 seharusnya analog dengan pematuhan UMR. Bila pemerintah mengontrol pelaksanaan UMR, untuk SMK3 pun layaknya demikian. Selanjutnya, perlu dibangun ajang pertarungan kinerja safety dalam persaingan bisnis. Produk barang/jasa dari perusahaan yang safety performance-nya buruk, layak mendapat disinsentif dari konsumen. Lembaga keuangan pun sebaiknya memiliki kebijakan aliran finansial dikaitkan dengan kinerja K3. Bila hal ini disatukan, safety akan menduduki posisi yang dipentingkan. Untuk percepatan proses di atas, peran media massa perlu dioptimalkan karena sentilan pers akan punya arti tersendiri.
Last but not least, bangsa ini harus sadar bahwa negara maju sudah lebih dahulu menerapkan norma K3, mereka telah lebih siap bertarung manakala safety dijadikan unggulan dalam persaingan bisnis. Mari untuk tidak alon-alon asal kelakon, kita harus gesit dan pandai mengantisipasi kecenderungan global karena semua ini pada akhirnya akan memengaruhi daya saing produk Indonesia di perdagangan internasional. ***
Penulis, bekerja di perusahaan energi.


4. Arah Terorisme Kini Justru Semakin Brutal
Oleh redaksi
Kamis, 23-Oktober-2008, 06:41:17

Belum hilang ingatan kita tentang kedahsyatan dan kengerian yang luar biasa akibat serangan teroris yang diwujudkan dengan ledakan Bom Bali. Kini, aparat keamanan baru saja menggerebek rumah kontrakan di Kelapa Gading, Jakarta Utara dengan menemukan bahan peledak beserta perlengkapannya.

Bukan itu saja, pihak Kepolisian Republik Indonesia menyatakan, bahwa kelompok teroris yang ditangkap di Kelapa Gading, Jakarta Utara tersebut tengah mengincar depo minyak Pertamina di Plumpang, Jakarta Utara. Seperti kita ketahui, Plumpang merupakan jalur penampung suplai minyak. Kalau itu bermasalah kita akan mengalami krisis energi, karena dari sanalah bahan bakar disebar. Jika serangan teroris itu benar-benar terjadi, maka tiga pulau akan mengalami krisis energi. Ketiganya adalah Pulau Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi. Apabila itu terjadi, maka yang rugi adalah umat muslim sendiri.
Tentunya hal ini membuat perkembangan akan terorisme menjadi hal yang tidak lazim. Kalau melihat kecenderungan yang selama ini terjadi, ada kepercayaan bahwa teroris di Indonesia memiliki jaringan dengan kelompok Al Qaeda dan Jamaah Islamiyah. Kelompok-kelompok tersebut cenderung melihat sumber ancaman ada pada Amerika Serikat dan sekutunya. Sehingga, target serangan mereka pun negara-negara tersebut. Aset-aset yang dihancurkan biasanya adalah aset negara-negara kapitalis, semisal kantor kedutaan besar.
Bila melihat perkembangan tersebut, dapat dikatakan aksi terorisme kini sudah jelas-jelas membabi buta. Menurut saya, mereka hanya ingin menunjukkan eksistensi brutal tanpa mengindahkan dampak dan akibatnya. Bagaimana mungkin, bila seorang muslim bakal membunuh sesama muslim secara sadis.
Oleh karena itu, bagi aparat keamanan dan intelijen agar sedapat mungkin melakukan pengendusan sebelum kejadian, seperti kejadian di Palembang, Sumatera Selatan dan Kelapa Gading, Jakarta. Bravo aparat keamanan.
JENIFER WOWORUNTU Komp. Lenteng Agung Persada Kav. 54A JAKARTA SELATAN jenifer_w@plasa.com



5. Sosialisasi Pemilu Belum Maksimal
Oleh Jeffry
Minggu, 26-Oktober-2008, 06:21:33

Kurang lebih tinggal 5 bulan lagi hajatan pesta demokrasi 2009 akan dilaksanakan, namun masih banyak masyarakat belum mengetahui kapan pemilu dilaksanakan. Ketidaktahuan masyarakat terhadap pelaksanaan pemilu 2009 nampaknya karena kurangnya sosialisasi yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Survei prapemilu yang dilaksanakan KPU bekerjasama dengan International Foundation for Electoral System, IFES-USAID menunjukkan mayoritas masyarakat Indonesia ternyata tidak mengetahui kapan bulan penyelenggaraan pemilu 2009 digelar. Survei tersebut telah memperlihatkan bahwa kinerja KPU dalam menyosialisasikan pemilu ternyata tidak maksimal. Endang Sulastri, anggota KPU bidang Sosialisasi dan Pendidikan Pemilih, Jum’at (24/10), menyadari bahwa sosialisasi pemilu yang diterima oleh masyarakat memang belum maksimal.
Pasalnya, berdasarkan survey tersebut sebanyak 61 persen dari total 2.500 responden di 25 provinsi di Indonesia meyatakan tidak mengetahui kapan pemilu dilaksanakan. Hanya sekitar 12 persen yang bisa menjawab bulan penyelenggaraan pemilu dengan tepat, yaitu bulan April 2009. KPU menyadari bahwa kesuksesan pemilu termasuk didalamnya kesuksesan dalam sosialisasi. Survei KPU tersebut, selain mengungkapkan kurangnya sosialisasi, juga menunjukkan bahwa tingkat keinginan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pemilu cukup tinggi. Lebih dari 90 persen responden menunjukkan keinginan untuk terlibat dalam pemilu, mulai dari pilpres hingga pemilu anggota legislatif daerah.
Namun sayangnya, dalam survei ini menyebutkan tingginya keinginan untuk berpartisipasi tidak didukung dengan informasi yang cukup mengenai proses pemilu 2009. Hanya 2 persen yang mengaku banyak memperoleh informasi mengenai proses pemilu dan sekitar 54 persen mengaku tidak tahu sama sekali proses pemilu.
KPU sebaiknya lebih gencar lagi mensosialisasikan pelaksanaan pemilu 2009 kepada masyarakat luas diberbagai media. Selama ini sosialisasi pemilu tidak efektif, tidak tepat dalam memilih media, sehingga tidak sampai ke sasaran yang diinginkan.
Haendi, Bogor

6. Lebih Baik Tinggal DI Negeri Sendiri, Dari Pada Sengsara Di Negeri Orang
Oleh redaksi
Sabtu, 04-Oktober-2008, 01:18:04

Baru-baru ini, sekitar 100 warga Papua yang lari mengungsi ke negara tetangga Indonesia yaitu Papua Nugini menuntut Komisi Tinggi untuk Urusan Pengungsi Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNHCR) untuk memindahkan mereka ke Vanuatu. Akan tetapi, Richard Towle dari UNHCR menegaskan bahwa pihaknya menolak permintaan warga Papua tersebut. Para pengungsi Papua tersebut menyeberang ke Papua Nugini beberapa tahun lalu dan kini tinggal di kota Port Moresby. Tahun lalu, mereka diusir dari tanah sewaan yang mereka tinggali dengan tenda-tenda dan kain terpal.

Sebagai pengungsi bukanlah hal yang menyenangkan, selain kehidupan yang sangat memprihatinkan juga menyusahkan negara yang menjadi tempat pengungsian. Pelarian mereka ke negara orang bukan solusi yang tepat untuk dapat dukungan dari dunia internasional agar Papua terlepas dari Indonesia. Warga Papaua yang mengungsi ini pada awalanya berkeyakinan bahwa dengan mengungsi ke Papua Nugini mereka akan memperoleh bantuan makanan dan persenjataan dari PBB dan dari Pemerintah Papua Nugini.
Dengan bantuan persenjataan mereka berharap dapat melakukan serangan balik terhadap militer Indonesia yang sudah menguasai tanah Papua. Di pengungsian mereka ternyata tidak pernah mendapatkan bantuan senjata. Mereka hanya mendapatkan bantuan makanan dari PBB melalui UNHCR. Mereka ternyata hanya di tipu oleh kelompok OPM maupun Lembaga-lembaga Swadaya lokal maupun asing.
Kengototan mereka untuk tetap mengungsi di negeri orang tidak lain kerena mereka diperalat oleh LSM/NGO lokal dan asing yang tetap mempertahankan keberadaan mereka, untuk mendeskritkan Indonesia di mata dunia internasional, sehingga Papua dapat terlepas dari negeri tercinta ini. Ini terbukti pernyataan Palang Merah Internasional (ICRC) mengaku sulit memulangkan ribuan pengungsi asal Papua yang kini bermukim di berbagai tempat di negara tetangga, Papua Nugini (PNG). Kesulitan itu, terkait adanya lembaga lain yang telah menyatakan bertanggung jawab atas nasib para pengungsi tersebut.
Pemerintah Indonesia sangat terbuka untuk menerima mereka untuk kembali ke kampung halamannya. Pemerintah RI melalui Pemprov Papua bekerja sama dengan aparat keamanan (TNI/Polri) telah menyediakan pemukiman sehat dan bantuan peralatan pertanian bagi para pengunsi yang telah kembali, sehingga mereka betah membangun kampung halamannya. Kembalilah pulang ke kampung halaman, jangan tertipu oleh manisnya janji-janji OPM, LSM lokal maupu asing yang hanya memanfaatkan anda.
Lebih baik hidup negeri sendiri dari pada terlunta di negara orang. Mari membangun Papua berasama-sama lupakan keinginan untuk memisahkan Papua dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Yonas G